JAKARTA -- UKW hanya sebatas legalitas dan syarat administratif yang menyatakan wartawan tersebut profesional. Namun bukan berarti wartawan yang sudah bersertifikasi UKW lebih bagus dari wartawan yang belum mendapatkan sertifikasi UKW, tidak ada yang bisa menjamin itu, banyak kasus wartawan yang sudah lulus uji kompetensi Dewan Pers banyak juga yang terjerat kasus pelanggaran kode etik jurnalistik.
Dari satu sisi mereka sudah dianggap profesional oleh Dewan Pers karena sudah lulus uji kompetensi, tetapi disisi yang lain mereka masih mengabaikan etika jurnalistik, ini sangat-sangat tidak etis dilakukan oleh orang-orang yang sudah teruji kompetensinya.
Selama ini banyak pernyataan yang beredar yang menyudutkan teman-teman wartawan yang belum lulus uji kompetensi kewartawanan, yang mengatakan bahwa UKW adalah yang membedakan antara wartawan profesional dan abal-abal dan bodrex.
Itu sebuah pernyataan yang tidak jelas referensinya, karena kenyataaan di lapangan, ada wartawan yang sudah punya UKW kelakuannya jauh lebih parah dari pada wartawan yang belum punya UKW. Keprofesionalitasan seorang wartawan tidak terletak apakah dia sudah UKW atau belum, akan tetapi semua dikembalikan ke individunya masing-masing,
UKW hanyalah sebuah bentuk pengakuan dalam organisasi profesi, bukan jaminan dimana seseorang akan dinilai profesional karena sudah bersertifikasi oleh lembaga profesi. Setiap wartawan ataupun pewarta yang belum memiliki sertifikasi bukan berarti tidak diperbolehkan melakukan liputan berita. Selama media tempat dia bernaung sudah ada legalitasnya tidak ada larangan bagi pewarta ataupun Wartawan untuk melakukan peliputan.
UKW jangan dijadikan tolak ukur media dan wartawan abal-abal atau bodrex, pernyataan-pernyataan seperti ini banyak beredar di media dan setiap diskusi, baik itu diskusi resmi maupun di warung-warung kopi yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang merasa dirinya sudah punya legalitas.
Banyak contoh dari itu semua, salah satunya ada juga pewarta atau wartawan yang sudah mengikutinya UKW Tetapi melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan Dunia kejurnalisa, bahkan ada juga Pewarta atau Wartawan yang belum ikut UKW Bisa lebih Profesional dari yang sudah mengikuti UKW.
Ada juga Pewarta atau Wartawan yang hanya tamatan Sekolah Dasar "SD" bisa Profesional karena memahami kode etik kejurnalisan dan 5W 1 H, ketimbang yang sudah mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas tempat mereka menuntut Ilmu. Jadi semua itu tidak bisa dijadikan Tolak ukur.
Sudah seharusnya lembaga-lembaga kewartawanan dan teman-teman yang sudah punya UKW menunjukkan kiprah dan perannya, Karena Kita dan masyarakat tidak bisa menilai dan melihat dengan jelas, apakah ada atau tidaknya perbedaan antara wartawan profesional dengan wartawan tidak profesional, mereka menilai aktual/independensi tidaknya suatu berita yang ditulisnya.
Dan perlu diketahui, Tujuan UKW Menggiring Wartawan Menuju Profesional Bukan Persaingan.
Perlu kita pahami dulu, apa kepanjangan kalimat UKW itu, Nah UKW itukan Uji Kompetensi Wartawan. Sebagai seorang Pewarta atau Wartawan, apakan dia pemula atau senior, tolong pahami jangan asal ngotot berdebat tidak jelas.
Seorang jurnalis itu dituntut profesional, menghayati kode etik jurnalistik. Jadi seorang wartawan itu harus memperlihatkan etika dalam menanggapi suatu persoalan.
Tujuan UKW oleh Dewan Pers Indonesia adalah agar seorang wartawan itu bisa mencapai profesional dalam profesi kinerjanya. Kalau dia wartawan dituntut berwawasan luas, memiliki skil atas profesinya dan memiliki etika lebih dalam.
Memang tidak salah bila ada teman-teman yang berkomentar beragam pendapat, bahkan ada juga seorang senior Dewan Pers dalam sebuah acara pelatihan mengomentari tentang masa depan perusahaan media. “ UKW bukan untuk memajukan perusahan Media”. Dan ada lagi yang berkomentar untuk membasmi wartawan abal-abal, Bodrex dan sebagainya.
Dalam hal ini, kita dibuat bingung, tolong pelajari Undang-undang dan kode etik, juga baca kamus bahasa indonesia tentang arti kalimat “wartawan Abal-abal”. Saya sebagai seorang wartawan hingga hari ini ingin tau apa itu arti kalimat Abal-abal, apa itu kalimat Bodrex yang disandangkan kepada wartawan, karena banyak kamus bahasa yang saya baca tidak ada yang mencantumkan makna dan arti wartawan abal-abal dan wartawan bodrek tersebut.
Kalau boleh saya katakan bahwa kita hari ini sudah diperbudak oleh bahasa istilah yang kita juga tidak paham apa itu arti dan makna dari bahasa tersebut. Seharusnya semua wartawan tidak terkecuali dia jenjang pemula, Madya atau utama, senior atau junior, marilah menggunakan bahasa Indonesia yang benar dan beretika, nah inilah gunanya UKW.
Selanjutnya, memperhatikan apa yang disampaikan oleh rekan-rekan, semua bisa benar dan semua bisa tidak benar, artinya dalam pelaksanaan UKW perlu menyampaikan materi yang berkaitan langsung dengan profesi wartawan/jurnalis, tidak lagi melakukan penyimpangan materi seperti tentang masa depan perusahaan media, wartawan abal-abal dan bodrek serta istilah lainnya. Karena untuk mencapai tingkat profesional kita harus melalui terlebih dahulu proporsional baru ke profesional.
Ketika masih ada diantara sesama wartawan saling tuding, artinya dengan kalimat tidak jelas dan tidak ber-etika maka, bagaimana bisa menentukan kalau wartawan itu profesional walaupun telah berkali-kali mengikuti pelatihan UKW.
Paling penting bagi seorang wartawan itu adalah mempelajari dan mencerna UU Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik serta 5W 1H.
Disamping itu memiliki wawasan luas, kecerdasan dan kreatif dalam bekerja :
1.) Apa itu wartawan,
2.) Siapa yang menjadi wartawan,
3.) Mengapa harus ada wartawan,
4.) Kapan terbentuk wartawan,
5.) Dimana wartawan itu bertugas,
6.) Bagaimana cara kerja wartawan.
7.) Dan Lain-Lainnya....
Intinya, semua wartawan itu sama. Baik itu Wartawan Media Online, Cetak, Elektronik, Lokal ataupun Nasional dan Internet, baik dia itu sudah memegang sertifikasi UKW atau belum, yang penting untuk menjadi wartawan profesional adalah mampu menjaga UU Pers dan mengedepankan etika dalam mencari pemberitaan atau menghadapi publik.
Terlebih lagi untuk Instansi-instansi juga harus mengetahui terkait masalah tersebut diatas, jadi jangan membedakan Pewarta atau Wartawan yang sudah mengingati UKW ataupun yang belum. Karena Pewarta Atau Wartawan tersebut, Selama Media tempat dia bernaung sudah ada legalitasnya, maka tidak ada larangan bagi pewarta ataupun Wartawan untuk mencari informasi dalam melakukan peliputan.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyebut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada waktu lahir tidak mengenal pendaftaran bagi perusahaan pers.
“Setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga mana pun, termasuk ke Dewan Pers,” ujar Ninik dalam keterangan resminya, Kamis (04/04/24)
Setiap perusahaan pers, lanjut dia, sepanjang memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia dan menjalankan tugas jurnalistik secara teratur, dapat disebut sebagai perusahaan pers meski belum terdata di Dewan Pers.
Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Sementara itu, dalam Pasal 15 ayat 2 (huruf g) Undang-Undang Pers, tugas Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers.
Begitupun Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bukanlah syarat bagi seseorang untuk menjadi wartawan di Indonesia. UKW bukanlah perintah dan atau amanat dari Undang-Undang Pokok Pers. UKW adalah Peraturan Dewan Pers”, terang Kamsul Hasan, Ahli Pers Dewan Pers dan Ketua Bidang Kompetensi Wartawan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat itu.
Dengan kata lain, masih sangat banyak wartawan yang belum mengikuti dan belum lulus UKW, yang melaksanakan tugas-tugas jurnalistik di Indonesia. Sekali lagi
UKW bukanlah syarat bagi seseorang untuk menjadi wartawan di Indonesia, Pertanyaannya, lanjut Kamsul, apakah para wartawan yang sudah lulus UKW menjadi jaminan bagi kualitas produk jurnalistik yang mereka hasilkan?
Secara blak-blakkan, Kamsul Hasan yang dua periode menjadi Ketua PWI Jaya, 2004-2009 dan 2009-2014, menyatakan, lulus UKW bukan jaminan.
“Masih banyak wartawan yang sudah lulus UKW, tapi kualitas produk jurnalistik mereka, rendah. Sebaliknya, cukup banyak wartawan yang belum ikut UKW, tapi produk jurnalistik mereka benar-benar berkualitas,” ungkap Kamsul Hasan, Sarjana Ilmu Jurnalistik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Sarjana Hukum dan Magister Hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jakarta.
Kamsul Hasan menduga, kebijakan sejumlah lembaga pemerintah yang menolak bekerjasama dengan wartawan yang belum UKW, semata-mata hanya karena mereka ingin membatasi jumlah wartawan yang terlibat di kegiatan mereka.
“Dari pencermatan saya, para pimpinan lembaga pemerintah yang hendak memperpanjang periode jabatannya, umumnya tidak mempermasalahkan wartawan UKW atau non-UKW,” ujar Kamsul Hasan dengan senyum penuh makna.
Tiem RED.